Wajar, memang. Tapi, jangan anggap sepele, Bu! Soalnya, bisa berakibat fatal buat masa depan anak.
Kejedug, begitu orang Jawa menyebutnya, memang sering dialami anak-anak.
Entah itu terjadi ketika mereka sedang main, lari-lari lalu saling
bertabrakan, atau ketika si kecil terjatuh. Terbentur atau kejedug pada
kepala bisa juga terjadi karena pukulan dan benturan. Istilah medisnya
adalah trauma kepala (jika mengenai bagian kepala).
Efek samping akibat terjadinya trauma kepala, jelas Dr. Dwi P. Widodo,
Sp.A(K), MMed, dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, sub bagian Neurologi Anak,
sering dikhawatirkan para orang tua. Tapi sebetulnya, pada kasus macam
apa orang tua perlu dan boleh was-was?
GEGAR OTAK
Bila dilihat dari jenis cederanya, trauma kepala dibagi menjadi tiga
golongan. Yaitu trauma kepala ringan, sedang, dan berat. “Dianggap
ringan bila keadaan anak secara keseluruhan baik. Dalam arti, tidak ada
luka, muntah dan kejang.”
Saat terbentur, anak memang akan menangis. “Bisa juga timbul luka atau
benjolan. Tapi selama kesadarannya bagus, tidak ada tanda-tanda penyakit
atau gejala syaraf, seperti matanya miring, muntah, dan kejang, maka
itu dapat dianggap benturan ringan saja,” jelas Dwi.
Kendati ringan, orang tua tetap harus memantau perubahan si anak. Karena
mungkin saja gejala yang dimunculkan datangnya lambat. Misalnya masa
krisis baru timbul dalam waktu 24-48 jam. Contohnya pada kasus retak
kepala. Mungkin pada awalnya tidak ada benjolan dan kondisi anak pun
baik-baik saja. Tapi dua hari kemudian anak kejang-kejang. “Nah, itulah
yang disebut efek yang lambat timbulnya. Biasanya ringan dan merupakan
gangguan karena benturan atau goncangan saja serta akibat perbedaan
tekanan.” Karena itu anak yang terjatuh, kendati ringan, perlu
diobservasi setiap dua jam.
Sedangkan trauma kepala kategori sedang biasanya disebut gegar otak.
“Gegar otak terjadi bila ada benturan disertai kehilangan atau penurunan
kesadaran untuk beberapa waktu, disertai lupa mengenai kejadian
tersebut,” jelas Dwi. Karena kesadarannya sempat turun, anak tak bisa
menceritakan kejadian tersebut. Keadaan seperti ini timbul karena adanya
gangguan fungsi sel syaraf otak, tapi tanpa disertai kerusakan sel
syarafnya.
Kadang, ungkap Dwi lebih lanjut, gegar otak terjadi dengan luka terbuka
dan luka tertutup. Jadi, jangan cepat mengartikan bila tidak luka maka
tidak ada perdarahan di otak. Mungkin saja perdarahan yang terjadi pada
gegar otak itu tidak diketahui atau tertutup. Perdarahan baru bisa
dilihat melalui foto rongent atau CT Scan. Menurut Dwi, kita tak perlu
cemas jika perdarahan terjadi di bawah kulit kepala. “Tapi jika
perdarahan terjadi di dalam otak atau selaput otak, perlu tindakan
operasi.”
Sementara itu, pada kasus trauma kepala berat, umumnya anak tidak sadar
dalam waktu yang lama. “Kira-kira 5-10 menit. Kemudian ditemui ada luka
atau memar, kejang-kejang, dan muntah-muntah,” ujar Dwi. Pada trauma
berat, perdarahan yang terjadi bukan hanya di kulit saja, tapi sudah
sampai ke dalam otak atau di tulang tengkoraknya. Dianggap berat bila
kemudian muncul kejang atau bahkan kelumpuhan.
Jadi, bagaimana menentukan berat-ringannya trauma kepala? Indikatornya
antara lain dari kesadarannya, ada lumpuh atau tidak, ada gangguan bola
mata atau tidak, dan lain-lain. Kalau matanya miring sebelah berarti ada
sesuatu di kepalanya. “Yang dicurigai adalah terjadinya perdarahan,
sebab di dalam otak terdapat serabut syaraf mata. Kelainan pada mata
bisa terjadi karena tekanan dari darah dan bukan kerusakan dari syaraf
matanya. Bila perdarahannya dihilangkan maka bisa diperbaiki atau
normal.”
PERUBAHAN TINGKAH LAKU
Bila yang terjadi trauma ringan, mungkin tidak akan terjadi gangguan
pada kecerdasan maupun sistem sarafnya. Misalnya, anak tak mengalami
gangguan saat belajar, tingkah lakunya normal saja, dan seterusnya.
Adakalanya muncul gangguan sesaat, namun setelah itu pulih kembali.
Yang jelas, setelah mengalami trauma, akan timbul sindrom pasca trauma.
Bentuk yang paling sering muncul adalah keluhan sakit kepala, dalam
waktu 1-2 minggu. “Biasanya berulang dan menghilang dengan sendirinya.”
Selain itu, ada juga gangguan tingkah laku seperti anak jadi agresif,
maunya tidur saja, gangguan memori, dan sebagainya. Semua ini merupakan
komplikasi.
Pada kasus gegar otak ringan pun, prognosisnya bisa bagus. Sedangkan
gegar otak berat, yang patut diwaspadai adalah terjadinya perdarahan
atau terdapat tulang kepala yang patah. Misalnya saja, bagian dari
tulang yang patah itu menusuk otak. Perdarahan dapat terjadi di selaput
otak atau di dalam otak. Operasi biasanya menjadi satu pilihan dan
bergantung pada seberapa berat kerusakan otak.
Gejala sisa dari trauma sedang dan berat biasanya berupa gangguan
perkembangan, seperti motorik kasar (duduk, berdiri, berjalan), motorik
halus (pegang benda kecil-kecil), perkembangan kecerdasan, bicara dan
bahasa, perkembangan sosial dan emosi. “Derajat gangguan perkembangan
ditentukan oleh sejauh mana dan di bagian mana kerusakan terjadi,” jelas
Dwi.
Perlu pula diketahui salah satu komplikasi trauma kepala cenderung
menimbulkan komplikasi epilepsi/ayan. Umumnya komplikasi itu timbul bila
benturan terjadi di daerah temporal atau samping dekat telinga.
RETAK ATAU PATAH
Perlu diketahui, pada bagian kepala belakang terdapat daerah otak kecil
untuk keseimbangan, daerah mata dan daerah yang disebut batang otak.
Semua daerah ini mempunyai fungsi-fungsi vital. Ada fungsi pernafasan,
fungsi kesadaran, dan fungsi jantung atau kardiovaskuler. Jadi, jelaslah
benturan itu bisa menimbulkan akibat banyak hal, tergantung pada bagian
sisi mana benturan terjadi.
Biasanya yang paling ditakutkan bila terjadi fraktur (retak atau patah)
tulang tengkorak di daerah belakang kepala. Soalnya, seperti kata Dwi,
bagian dari tulang yang patah itu bisa melukai susunan syaraf pusat.
Jika hal ini terjadi dan termasuk kategori berat, maka biasanya timbul
perdarahan dari hidung atau keluar cairan dari telinga.
Bila hal itu terjadi, terutama jika timbul fraktur di daerah leher atau
kepala, korban harus segera dilarikan ke rumah sakit agar mendapat
penanganan khusus. “Orang tua dalam hal ini juga tak bisa berbuat
banyak, kok. Seandainya dilakukan tindakan sendiri, malah bisa
memperberat keadaan korban,” kata Dwi.
Sedangkan pada bayi atau anak kecil, yang kerap dijumpai adalah fraktur
diastatik. “Di bagian kepala bayi terdapat ubun-ubun besar, ubun-ubun
kecil, dan bagian depan. Nah, di antara ubun-ubun tersebut dengan otak
terdapat tulang-tulang. Pemisah antar tulang tengkorak (sutura) itu
masih terbuka.”
Pada saat bayi, pembatas tersebut belum menyatu dan bisa terpisah. “Nah,
bila tulang mudanya ini terkena benturan, bisa lepas atau bergeser.
Kalau ini terjadi, tidak perlu tindakan apa-apa. Lebih baik didiamkan
saja, karena nanti akan menyatu lagi mengingat anak masih dalam
perkembangan. Biasanya ubun-ubun besar menutup paling telat umur 18-24
bulan.”
Tapi, apa pun yang terjadi, yang paling bijaksana adalah membawa si
kecil ke dokter agar tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Sebelum
terlambat, Bu, Pak!
Sumber : http://keluargasehat.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar