31 Desember 2016

PENGHITUNGAN ANGSURAN PPH PASAL 25 BAGI WAJIB PAJAK MENURUT PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 208/PMK.03/2009


Latar Belakang
Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/ PMK.03/ 2009 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan DalamTahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru,Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. Namun dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut tidak memberikan contoh penghitungan angsuran Pajak Penghasilan.
Tulisan ini membahas penghitungan angsuran Pajak Penghasilan pasal 25 (selanjutnya disebut angsuran PPh pasal 25) terhadap : 
a. Wajib Pajak baru; 
b. Wajib Pajak bank, badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak
   masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan 
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.

Pembahasan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut Undang-Undang PPh) pada pasal 25 mengatur penghitungan angsuran Pajak Penghasilan.Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan. Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang PPh menjelaskan ketentuan besarnya angsuran PPh yaitu: “Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a.        Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan;
b.         Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak."

 Contoh berdasarkan penjelasan pasal 25 ayat 1 :

Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2009 diketahui:
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang sebesar                                      Rp 50.000.000,00
Data kredit pajak tahun 2009 adalah:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi Kerja ( PPh Pasal 21)       Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh Pasal 22)      Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh Pasal 23)       Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (PPh Pasal 24)                             Rp 7.500.000,00

Penghitungan angsuran Pajak Penghasilan pasal 25 tahun 2010 adalah:
Pajak Penghasilan terutang                                        Rp 50.000.000,00
Kredit Pajak:
a. PPh pasal 21                       Rp 15.000.000,00
b. PPh pasal 22                       Rp 10.000.000,00
c. PPh pasal 23                       Rp 2.500.000,00
d. PPh Pasal 24                       Rp 7.500.000,00
Jumlah Kredit Pajak                                                    Rp 35.000.000,00 -
Pajak Penghasilan yang harus dibayar                    Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010 adalah :
Rp. 15.000.000,00 / 12 = Rp. 1.250.000,00.
Jika Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar.
 Rp 15.000.000,00/ 6 bulan = Rp2.500.000,00.
Selanjutnya masih terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi besarnya jumlah angsuran PPh pasal 25 yaitu:
1.     Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak (Pasal 25 ayat 4 Undang-Undang PPh).
2.        Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
a.    Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b.    Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c.    Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d.  Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f.   Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak (Pasal 25 ayat 6 Undang-Undang PPh).

Penghitungan angsuran PPh pasal 25 selain yang telah diatur dan diberi contoh oleh Undang-Undang PPh pada pasal 25 ayat (1), pasal 25 ayat (4), dan pasal 25 ayat (6) juga memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. Wajib Pajak bank , badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran usaha (pasal 25 ayat7).
Berdasarkan wewenang tersebut Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 255/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/ PMK.03/ 2009 (selanjutnya disebut PMK 208/PMK.03/2009) yang menetapkan penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh :
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan.

1. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru
a. Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan Wajib Pajak baru diatur pada penjelasan pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang PPh , yaitu Wajib Pajak yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan. Ketentuan Wajib Pajak baru juga diatur pada pasal 1 angka 1 PMK 208/PMK.03/2009.

Wajib Pajak baru menurut Peraturan Menteri Keuangan ini adalah Wajib Pajak 
orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru ini diatur pada pasal 2 PMK  208/PMK.03/2009 yaitu:
1.       Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
2.      Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a.       Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya ;
b.      Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya   menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari  pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
3.      Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
4.      Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Wajib  Pajak badan yang mempunyai kewajiban membuat laporan berkala, besarnya  angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
b.Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Sehubungan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disebut PP 46 tahun 2013) dan ditindakdilanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau  Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disebut PMK 107/PMK.011/2013) dijelaskan batasan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Batasan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final diatur pada Pasal 2 PMK No.107/PMK.011/2013, yaitu:
    
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang  memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:  
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a.        tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b.      pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c.       olahragawan;
d.      penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e.       pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
f.       agen iklan;
g.      pengawas atau pengelola proyek;
h.      perantara;
i.        petugas penjaja barang dagangan;
j.        agen asuransi; dan
k.      distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a.     menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b.    menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak  diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(5) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
         
a.       Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b.      Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00  (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pengertian peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dinyatakan pada pasal 3 PMK No. 107/PMK.11/2013, yaitu:
1.       Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)  didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
2.      Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
 
a.    jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat(3);
b.   penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c.    usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d.   penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
3.      Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.
4.      Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.
5.     Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya   penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
      
Contoh:
1.    PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula didirikan pada bulan Agustus 2013 dan pada tahun yang sama mendaftarkan diri sebagai  Wajib Pajak badan di KPP Z. PT Andalan menggunakan tahun buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan  Oktober 2014 PT Andalan masih terus melakukan kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan pabrik dan instalasi mesin-mesin industri dan belum melakukan kegiatan operasi secara komersial. Pada tanggal 1 November 2014 PT Andalan mulai melakukan kegiatan operasi secara komersial berupa produksi gula dalam kemasan. Jika laporan laba rugi PT Andalan pada bulan November 2014 menyatakan peredaran bruto Rp500.000.000,00 dan biaya-biaya fiskal Rp. 400.000.000,00.

a.         Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Agustus 2013 sampai dengan   Oktober 2014 ?
b.        Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014?
Jawaban:
a.       Masa Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2014, PT Andalan belum mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh pasal 25 karena belum beroperasi secara komersial sehingga belum mempunyai penghasilan dan Pajak Penghasilan terutang nihil (Undang –Undang PPh pasal 25).
b. Angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 diatur sbb: Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2), pasal 2 ayat (5), serta pasal 7 PMK 107/PMK.011/2013 maka terhadap PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang PPh   sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. Peraturan yang terkait dengan tarif umum Undang-Undang PPh yaitu Undang-Undang PPh pasal 17, pasal 25, dan pasal 31 E ; PMK 208/PMK.03/2009 pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2).

b.      Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 (saat mulai beroperasi secara komersial) berdasarkan penghasilan neto sebulan kemudian disetahunkan.

Peredaran bruto                                           Rp 500.000.000,00
Biaya-biaya fiskal                                         Rp 400.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal sebulan                 Rp 100.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal setahun                Rp 1.200.000.000,00
Kompensasi Kerugian                                 Rp 0,00                     
Penghasilan Kena Pajak                             Rp 1.200.000.000,00
Peredaran Bruto setahun adalah : 12 x Rp. Rp 500.000.000,00 =
Rp 6.000.000.000,00.
 
Karena jumlah peredaran bruto masih dibawah Rp. 50.000.000.000,00 setahun maka terhadap PT Andalan mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang.
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas adalah:
Rp 4.800.000.000,00 x Rp 1.200.000.000,00 = Rp 960.000.000,00.
Rp 6.000.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang: 50% x 25% x Rp 960.000.000,00 =
Rp 120.000.000,00
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp 1.200.000.000,00 – Rp 960.000.000,00 = Rp 240.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang: 25% x Rp 240.000.000,00 = Rp 60.000.000,00
Jumlah Pajak Penghasilan terutang: Rp 120.000.000,00 + Rp 60.000.000,00= Rp 180.000.000,00.
Angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014: Rp180.000.000,00/ 12 = Rp15.000.000,00 dan disetor ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 Desember 2014.
Apabila sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas jumlah peredaran bruto bulan November 2014 (saat mulai beroperasi secara komersial) Rp300.000.000,00 dan biaya-biaya fiskal sebesar Rp200.000.000,00.
Jumlah peredaran bruto setahun adalah: 12 x Rp300.000.000,00 = Rp3.600.000.000,00 (masih dibawah Rp4.800.000.000,00). Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 tetap berdasarkan tarif umum Undang-Undang PPh seperti contoh PT Andalan di atas.
2.   Tn. Bejo (subjek pajak dalam negeri) statusnya menikah dan mempunyai 3 orang anak, tinggal di Jakarta. Pada bulan Juli 2014 memulai usaha bengkel mobil "Lari Cepat". Jumlah penghasilan selama bulan Juli 2014 sebesar Rp500.000.000,00. Biaya – biaya yang dikeluarkan pada bulan Juli 2014 sebesar Rp450.000.000,00. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014?

Jawaban:
Peraturan yang terkait adalah PMK No. 107/PMK.11/2013 pasal 2 dan pasal 3. Wajib Pajak baru terdaftar bulan Juli 2014 (setelah berlakunya PP 46 tahun 2013 dan PMK 107/PMK.011/2013), maka pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.

Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp500.000.000,00 = Rp6.000.000.000,00.
Karena peredaran bruto yang disetahunkan sudah melebihi Rp4.800.000.000,00, maka penghitungan pajak penghasilan dihitung menggunakan tarif pasal 17 Undang-Undang PPh.

Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014 adalah:
Peredaran Usaha bulan Juli 2014                           Rp 500.000.000,00
Biaya-biaya fiskal                                                    Rp 450.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal sebulan                            Rp 50.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal setahun                            Rp 600.000.000,00
PTKP : K/3                                                               Rp 32.400.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun                           Rp 567.600.000,00
PPh Wajib Pajak Orang Pribadi terutang:
5% x Rp 50.000.000,00      = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00  = Rp 30.000.000,00
25% x Rp 250.000.000,00  = Rp 62.500.000,00
30% x Rp 67.600.000,00    = Rp 20.280.000,00
           Rp 567.600.000,00     Rp 115.280.000,00
Angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014 adalah : Rp115.280.000,00 / 12 = Rp9.606.666,00 dan paling lambat disetor ke Kas Negara tanggal 15 Agustus 2014.

3.    Tn. Kanai (subjek pajak dalam negeri) memulai usaha restoran "Enak Lezat" pada bulan Agustus 2014. Peredaran usaha bulan Agustus Rp300.000.000,00. Berdasarkan pembukuan, diketahui jumlah biaya-biaya fiskal sebesar Rp250.000.000,00. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Agustus 2014?

Jawaban:
Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp300.000.000,00 = Rp3.600.000.000,00.
Karena peredaran bruto yang disetahunkan belum melebihi Rp4.800.000.000,00 maka terhadap penghasilan bruto tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1%.
PPh terutang bulan Agustus 2014 adalah: 1% x Rp300.000.000,00 = Rp3.000.000,00 dan tidak ada angsuran PPh pasal 25.

2. Perhitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat Laporan Keuangan berkala
a.     Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi. Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 diatur dalam pasal 3 PMK 208/ PMK.03/ 2009 yaitu besarnya Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.
Contoh:
1.      PT Bank X berdasarkan laporan keuangan triwulan Januari - Maret 2014 diketahui memperolah laba fiskal sebesar Rp5.000.000.000,00. PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar Rp400.000.000,00.
Hitunglah jumlah angsuran PPh pasal 25 pada triwulan II (April – Juni 2014).
Jawaban:
a.  Penghitungan angsuran PPh pasal 25 pada triwulan II (April – Juni 2014) didasarkan pada laporan keuangan triwulan terakhir yaitu triwulan I (Januari-Maret 2014). Diasumsikan bahwa peredaran bruto triwulan I setahun di atas Rp 50.000.000.000,00, maka terhadap PT Bank X tidak mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang.
Laba Fiskal yang disetahunkan : 4 x Rp5.000.000.000,00 = Rp 20.000.000.000,00
PPh Terutang : 25% x Rp20.000.000.000,00 = Rp5.000.000.000,00
Kredit Pajak Pasal 24 tahun 2013 (Rp 400.000.000,00)
PPh yang harus dibayar sendiri Rp4.600.000.000,00
Angsuran PPh pasal 25 bulan April 2014 : Rp4.600.000.000,00 / 12 = Rp 383.333.333,00
Selanjutnya penghitungan angsuran PPh pasal 25 pada triwulan III (Juli-September) didasarkan pada laporan keuangan triwulan II (April-Juni).
b.   Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
Penghitungannya diatur pada Pasal 4 PMK 208/ PMK.03/ 2009 yaitu:

·         Besarnya Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

·         Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) belum disahkan, maka besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
Contoh:
PT MBA merupakan Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun 2014 yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham pada bulan Januari 2014 diketahui sbb:
Rencana Peredaran bruto tahun 2014                    Rp 100.000.000.000,00
Rencana Laba Fiskal tahun 2014 sebesar              Rp 10.000.000.000,00
PPh pasal 22 impor tahun 2013 sebesar                 Rp 150.000.000,00
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013 sebesar   Rp 100.000.000,00
PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar                             Rp 400.000.000,00
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 tahun 2014 adalah :
Karena peredaran bruto setahun di atas Rp 50.000.000.000,00, maka terhadap PT MBA tidak mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang.

Rencana Laba Fiskal tahun 2014                        Rp 10.000.000.000,00
PPh Terutang : 25% x Rp. 10.000.000.000,00 = Rp 2.500.000.000,00
Kredit Pajak :
PPh pasal 22 impor tahun 2013 sebesar            Rp 150.000.000,00
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013 sebesar Rp 100.000.000,00
PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar                     Rp 400.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp 650.000.000,00
PPh Badan terutang yang harus bayar sendiri   Rp 1.850.000.000,00
Angsuran PPh pasal 25 tahun 2014 :                 Rp1.850.000.000,00 / 12= Rp. 154.166.666,00
c. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat Laporan Keuangan berkala.
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, penghitungannya diatur pada Pasal 5 PMK 208/ PMK.03/ 2009 yaitu sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.
Contoh:
PT ACI Tbk berdasarkan laporan keuangan berkala bulan Januari - Juni 2014 diketahui sbb:
Peredaran Bruto Januari-Juni 2014               Rp 60.000.000.000,00
Laba Fiskal Januari - Juni 2014                     Rp 20.000.000.000,00
PPh pasal 22 impor tahun 2013                    Rp 100.000.000,00
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013         Rp 70.000.000,00
PPh Pasal 24 tahun 2013                             Rp 300.000.000,00
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 pada bulan setelah penyampaian laporan berkala adalah :
Peredaran bruto setahun 2 x Rp 50.000.000.000,00 = Rp 100.000.000.000,00.
Karena peredaran bruto setahun di atas Rp 50.000.000.000,00, maka terhadap PT ACI tidak mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang.
Laba Fiskal Januari-Juni 2014                     Rp 20.000.000.000,00
Laba Fiskal tahun 2014 (setahun)               Rp 40.000.000.000,00
PPh Terutang :
25% x Rp 40.000.000.000,00 =                   Rp 10.000.000.000,00
Kredit Pajak:
PPh pasal 22 impor tahun 2013                   Rp 100.000.000,00
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013        Rp 70.000.000,00
PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar              Rp 300.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak                                    Rp 470.000.000,00
PPh Badan yang harus bayar sendiri          Rp 9.530.000.000,00
Angsuran PPh pasal 25 bulan Juli sampai Desember 2014 : Rp 9.530.000.000,00 / 12 = Rp 794.166.666,00

3.   Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
Penghitungannya diatur pada Pasal 6 PMK 208/ PMK.03/ 2009. Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.
Ketentuan pelaksanaan angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Nomor Per-32/PJ/2010 Tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
Pasal 1 Per 32/PJ/2010 menjelaskan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.
Pedagang Pengecer adalah orang pribadi yang melakukan:
a. penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
b. penyerahan jasa, melalui suatu tempat usaha.
Contoh:
Heri Kurnia merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha perdagangan mobil bekas yang memiliki 1 (satu) tempat kegiatan usaha dan memulai usahanya pada bulan Juli 2014. Peredaran bruto pada bulan Juli 2014 sebesar Rp350.000.000,00.
Berapa besar angsuran PPh pasal 25 pada bulan Juli 2014?
Jawaban:
Heri Kurnia termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu sesuai pasal 6 PMK 208/ PMK.03/ 2009 karena dikategorikan sebagai Pedagang Pengecer (Pasal 1 Per 32/PJ/2010).
Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan No.107/PMK.011/2013 tanggal 30 Juli 2013, pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp 350.000.000,00 = Rp4.200.000.000,00.
Karena peredaran bruto yang disetahunkan belum melebihi Rp 4.800.000.000,00 maka terhadap penghasilan bruto tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1% sesuai PP Nomor 46 tahun 2013.
PPh terutang bulan Juli 2014 adalah: 1% x Rp4.200.000.000,00 = Rp 42.000.000,00 dan tidak ada angsuran PPh pasal 25.
Masih dengan contoh di atas, namun jika peredaran bruto Heri pada bulan Juli 2014 sebesar Rp 500.000.000,00. Berapa besar angsuran PPh pasal 25 pada bulan Juli 2014?
Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp 500.000.000,00 = Rp 6.000.000.000,00.
Karena peredaran bruto yang disetahunkan telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 maka terhadap penghasilan bruto tahun 2014 penghitungan pajak penghasilan dihitung menggunakan tarif pasal 17 Undang-Undang PPh.
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 dihitung sesuai Pasal 6 PMK 208/ PMK.03/ 2009 dan Per 32/PJ/2010.
Angsuran PPh Pasal 25 bulan Juli 2014 = 0,75% x Rp 500.000.000,00 = Rp 3.750.000,00.
Angsuran tersebut dibayar paling lambat tanggal 15 bulan Agustus 2014.
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember 2014 adalah 0,75% dikalikan peredaran bruto pada bulan yang bersangkutan.

Kesimpulan
Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha tertentu seperti yang diatur pada PMK 208/ PMK.03/ 2009 ternyata masih harus memperhatikan ketentuan yang ada pada PP 46 tahun 2013 dan aturan pelaksanaannya pada PMK 107/PMK.011/2013. Ketentuan tersebut diantaranya adalah: batasan jumlah peredaran bruto setahun atau disetahunkan (Rp4.800.000.000,00), ketentuan mengenai jenis penghasilannya (apakah penghasilannya berasal dari pekerjaan bebas atau tidak); kapan penghasilan tersebut diperoleh; ketentuan apakah dikenai tarif umum Pajak Penghasilan, atau tarif khusus Pajak Penghasilan atau dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Diharapkan dengan pemahaman penghitungan angsuran PPh pasal 25 di atas akan membantu pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam upayanya mencapai target penerimaan pajak yang diamanahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui penghitungan ulang angsuran PPh pasal 25 Wajib Pajak. Semoga.

CUSTOM SCRIPT